

Di dalam film Robin Hood yang dibintangi oleh Kevin Costner, ada sebuah adegan ketika seorang anak kecil yang termasuk di dalam gerombolannya Robin Hood bertanya pada Kaseem–teman Robin Hood (dalam film itu)–yang seorang Muslim berkulit hitam veteran tentara Islam di dalam Perang Salib.
Sang anak karena tidak pernah melihat orang kulit hitam sebelumnya bertanya pada Kaseem: “Mengapa warna kulitmu hitam? Apakah Tuhan mencatnya?”. Dengan enteng Kaseem menjawab: “Allah loves variety, son!” Yang artinya: Allah cinta keberagaman, anakku!
Adegan itu melintas sejenak di kepala penulis ketika sedang duduk Masjid Nabawi beberapa hari yang lalu menunggu waktu shalat subuh mulai pukul 03.00 dinihari sambil bertahajjud dan berdoa. Subhanallah! Sungguh pemandangan luar biasa, mulai dari warna warni kulit, bentuk wajah, tinggi badan, cara sholat, tingkah laku, cara berpakaian sampai kepada atribut dan seragam yang dipakai, mulai dari syal, jacket, kacu, penutup kepala, wuiiih…. menakjubkan.
Sekali lagi subhanallah! Maha Suci Allah yang telah menciptakan manusia dari berbagai macam bentuk rupa, karakter, sifat, dan keberagaman itu. Bagaikan taman bunga beragam jenis yang ditumbuhi bunga warna-warni dengan bau semerbak beraneka rupa, yang setiap jenisnya menambah keindahan dan kelengkapan taman itu.
Hampir semua orang yang masuk ke Masjid Nabawi merasa kagum dan tertarik untuk mengabadikan dengan foto dan video akan keindahan dan keanggunan dari keramaian dan keberagaman ratusan ribu jamaah yang datang beribadah ke sana. Penyebabnya adalah warna-warni dan keunikan masing-masing kelompok tadi, tapi semuanya tetap akur, tidak tabrakan, tidak ada marahan.
Maha Kuasa Allah yang atas izinnya melalui jasa para penyeru agama ini telah menyampaikan seruan Islam ini ke seluruh penjuru bumi kepada berbagai ragam manusia tadi. Dengan latar belakang keadaan masyarakat yang berbeda, da’i/ulama penyampai yang berbeda, waktu penyampaian berbeda, dan juga masyarakatnya sendiri berbeda-beda. Walhasil, ajaran Islam yang didapatkan dan dipahami oleh masing-masing masyarakat di berbagai penjuru dunia ini pun berbeda-beda pula.
Di Masjid Nabawi, tempat dimana para peziarah dianjurkan untuk shalat di 40 waktu (arbain) selama delapan hari, perbedaan itu kentara sekali antara daerah satu dengan daerah yang lain. Meskipun demikian, semuanya tetap patuh pada imam yang satu dan sama-sama menghadap kiblat.
Meskipun ada saudara muslim berkulit hitam yang sering menerobos di tengah-tengah saf yang sudah diduduki dengan rapi oleh jamaah yang duluan tiba, tetapi mereka masih mau memberikan tempatnya bersempit-sempit dan mengerti watak saudara muslim berkulit hitam ini yang “hobi” bersempit-sempit dan ngotot untuk mendapat posisi yang bagus, meskipun mereka datang terlambat.
Tidak ada teriakan, tidak ada protes, tidak ada yang ngotot mau mempertahankan posisinya, karena biasanya, kalau ada yang seperti itu, bakalan ada orang yang lebih sangar lagi datang dan memaksa orang yang tidak mau berbagi tempat tadi, meskipun ia merasa lebih berhak karena datang lebih dulu.
Mereka yang mau lebih serius dan tidak terganggu orang lalu-lalang lebih menyukai posisi di dalam masjid. Tetapi, bagi mereka yang ingin lebih santai, bisa mengobrol sambil menunggu waktu sholat masuk, lebih memilih duduk di pelataran masjid yang juga sekalian berfungsi tempat shalat jika waktu shalat masuk.
Semua orang memiliki hak yang sama di dalam Masjid untuk shalat dan mendapat tempat. Hal-hal lainnya adalah bumbu penyedapnya. Masjid Nabawi dengan keanggunannya tetap melayani semua jamaah yang berbagai macam bentuk dan tingkah lakunya ini, terutama dalam hal beribadah.
Pihak masjid hanya berfungsi menyelenggarakan fungsi-fungsi umum, yaitu shalat berjamaah lima waktu, mengatur saf, melayani kepentingan untuk bersuci, menjaga kebersihan dan ketertiban. Akur dan harmoninya suasana di Masjid Nabawi adalah karena masing-masing jamaah hanya memiliki satu niat ke sana, yaitu ikhlas beribadah kepada Allah. Hal ini menyingkirkan perbedaan-perbedaan dan insiden-insiden kecil tadi menjadi tidak berarti lagi.
Bercermin dari hal di atas, seharusnya begitu pula hendaknya jamaah kaum muslimin ini di dalam menyikapi persoalan-persoalan keummatan dan kesehariannya. Berbagai faksi, partai, kelompok, organisasi, gerakan dakwah dan jamaah dengan berbagai latar belakang yang ada di tengah-tengah kita, baik skala daerah, maupun di Indonesia, bahkan di dunia sekalipun adalah analog dengan beragamnya jamaah Masjid Nabawi.
Masing-masing kelompok di Islam memiliki pangsa pasar dakwah masing-masing, memiliki keahlian spesifik masing-masing, memiliki budaya dan kebiasaan yang sudah mengakar lama karena sejarah pergerakan dan latar belakang masyarakat yang berbeda pula. Masing-masing kelompok ini adalah pelengkap bagi kelompok yang lainnya. Mereka laksana batu, pasir, semen, air, besi, dan kayu dalam menyusun sebuah bangunan yang kokoh, yang satu komponen tidak lebih penting dari komponen yang lainnya.
Ada kelompok yang bergerak di bidang politik dan memperjuangkan hak-hak kaum muslimin di bidang politik pemerintahan dan kenegaraan. Di bidang politik ini pun ada bermacam-macam kelompok lagi, semuanya mengaku membela kelompok Islam dan berasas Islam termasuk yang berembel-embel nasionalis agamis. Ada kelompok yang menggarap kaum ndeso dengan gaya dakwah panutan kyainya.
Ada dakwah ngepop untuk kalangan artis mereka yang keartis-artisan. Ada yang terus meneriakkan dan mengingatkan pentingnya khilafah Islamiyah didirikan. Ada pula yang cerewet mengontrol supaya bid’ah-bid’ah dihapuskan dan supaya pelaksanaan Islam betul-betul sesuai dengan sunnah Nabi yang dicontohkannya. Juga ada yang rajin mengajak supaya shalat lima waktu di masjid dan berdakwah langsung ke luar daerah. Selain itu ada pula kelompok yang bervariasi kegiatannya.
Potensi yang ada pada masing-masing kelompok ini dengan jangkauan pengikutnya dan semua aset serta jaringan yang dimilikinya adalah luar biasa. Jika masing-masing kelompok bergerak dengan ikhlas karena Allah SWT dengan pemahaman yang benar akan dasar-dasar Islam maka insya Allah, tujuan bersama umat Islam untuk menjadi referensi dan memimpin di dunia, serta umatnya masuk surga akan tercapai.
Ibarat orang naik gunung dari berbagai penjuru, jika masing-masing orang berniat untuk mencapai puncak gunung dan terus mengorientasikan niatnya untuk menuju puncak dan mengarahkan langkahnya terus ke atas menuju puncak, maka insya Allah, dari arah yang berbedapun, akan berjumpa di puncak. Lain halnya jika orang-orang ini tidak memiliki orientasi yang jelas ke puncak, dan menyimpang dari niatnya, maka kemungkinan ia akan masuk jurang. Nilai seseorang atau jamaah ditentukan oleh kontribusinya pada bangunan Islam. Keikhlasannya dinilai oleh Allah SWT.
Tidak boleh ada kelompok yang mengatakan dirinya yang paling benar. Cukuplah di dalam hati dengan keyakinan saja. Tidak perlu pula sibuk mencari-cari kekurangan-kekurangan kelompok lain. Meskipun demikian, jika ada yang mengingatkan dan menyampaikan dakwah ke kelompok yang lain, harus diterima dengan lapang hati karena itu merupakan amalan Islam yaitu saling menasehati yang harus dijalankan.
Kelapangan hati ini akan memperkokoh persatuan seperti di dalam barisan saf Masjid Nabawi, dan bahu membahu meninggikan panji Islam bersama-sama, meski dengan jalan yang berbeda-beda. Sungguh indah ajaran Islam yang hanya mengatur hal-hal pokok di dalam agama ini. Hal-hal kecil yang memiliki banyak variasi, karena potensi perbedaan yang besar itu tadi, tidak diatur secara rinci dan menjadi rentang toleransi antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, bukan sebaliknya menjadi bahan pertentangan dan permusuhan.
Jika ini dijalankan di dalam kehidupan kita sehari-hari di dalam tubuh ummat, maka insya Allah, umat Islam akan lebih cepat maju dan memimpin kembali peradaban di dunia, lebih khusus lagi tentunya di Indonesia. Allah loves variety. Amiien ya Rabb al ‘Alamin. Labbaik Allahumma Labbaik!