

Sejak dari dulu gambut dan rawa (peat and swamp) menjadi satu kesatuan. Artinya, tanah gambut selalu basah dan terendam. Karena itu pula, jarang terjadi kebakaran hutan di daerah gambut.
Sekarang, pembalakan yang meraja lela menghabiskan juga hutan-hutan yang tumbuh di tanah rawa dan gambut. Selain itu, di darah hutan berawa pula digali drainase-drainase di tengah hutan untuk menghanyutkan balak-balak tersebut.
Gambut pun menjadi mudah terbakar karena ia sudah kering. Ibarat kayu lapuk kering yang terbakar. Lapisan gambut yang tebal inilah yang terbakar di dalam tanah dan susah dipadamkan bila tanahnya kering.
Jika kita tak ingin diganggu asap, maka caranya adalah dengan menghentikan pembalakan di daerah bergambut, dan airi kembali lahan-lahan gambut itu yang semulanya terendam dan basah secara alami.
Jika tidak, bukan tidak mungkin bencana massive yang menimpa kita adalah bencana asap yang mematikan. Saya membayangkan suasana tidak teratasi ketika asap berubah menjadi bencana, transportasi lumpuh karena tidak bisa melihat, makhluk hidup tidak bernafas, orang panik, kehidupan lumpuh total.
Apa bedanya dengan tsunami atau banjir besar atau gempa bumi atau bencana mematikan lainnya?
Yang paling baik tentulah mencegahnya, tetapi ketika akumulasi dari kemarau yang panjang, angin yang bertiup kencang, dan lahan gambut yang kering terjadi bersama-sama habislah kita.
Kita semua harus mempersiapkan skenario terburuk jika ini terjadi. Kalau bukan gempa, bisa jadi asap. Sudahkah kita bersiap?