

Memberi adalah salah satu bentuk perilaku sosial yang paling mendasar. Ianya merupakan keterampilan sosial yang tidak bisa dilakukan sendirian, tetapi harus bersama-sama. Ada yang memberi, ada yang diberi. Anak kecil dilatih oleh orangtuanya untuk memberi sesuatu kepada anggota keluarga yang lain.
Pada mulanya si anak enggan melakukannya, mungkin karena takut, malu, atau karena rasa kepemilikannya yang besar. Tetapi setelah si anak tahu kenikmatan memberi, maka ia dengan sangat bergembira akan memberikan apa saja yang ia punya. Bahkan sampai tidak bersisa sedikitpun pada dirinya, ia tetap tersenyum lebar penuh keceriaan.
Ya, itulah memberi yang mendatangkan kebahagiaan. Fitrah (keaslian) anak kecil tidak akan membohongi kita, dan itu pulah sesungguhnya fitrah yang sebenarnya kita miliki. Potensi kebahagiaan yang terus kita miliki hingga kita dewasa.
Sayangnya keterampilan sosial dalam hal memberi ini semakin hilang seiring dengan bertambahnya usia kita, bertambahnya kebutuhan kita, dan semakin ketatnya persaingan. Akhirnya kebahagian-kebahagiaan yang ditimbulkan dari kegiatan memberi dan berbagi ini pun berangsur-angsur lenyap dari diri kita.
Jadilah kita orang-orang yang sibuk mengurus diri kita masing-masing, bahkan semakin hari semakin murung. Hampir tidak ada kebahagiaan singgah lagi di hati kita.
Memberi di sini jangan hanya diartikan memberi dalam bentuk materi, barang, atau uang, meskipun itu adalah bentuk memberi yang paling mudah dan paling kasat mata. Tetapi memberi ini juga bisa meliputi aspek non materi berupa nasehat, kritikan, ide, ilmu, usulan, senyum, keramahan, keceriaan, kehadiran, dukungan, simpati, kepedulian, silaturahim, komunikasi, dan waktu.
Banyak bukan? Artinya peluang kita untuk memperoleh kebahagiaan dari memberi juga banyak jalannya.
Di dalam Islam, perintah untuk memberi sangat banyak, mulai dari yang wajib seperti zakat, sampai kepada yang dianjurkan seperti infaq, shadaqah, waqaf, hibah, dan hadiah. Marilah kita lihat di sekeliling kita, berapa banyak orang yang menahan-nahan hartanya untuk tidak memberikannya kepada orang lain, baik menahan zakat maupun infaq dan shadaqah.
Kita lihat tipikal orang-orang seperti itu tidak bahagia dalam hidupnya, susah senyum, selalu dirundung masalah. Sebaliknya orang-orang yang suka memberi dan pemurah, tipikalnya adalah orang-orang yang ceria, sehat, dan berwajah cerah dan bahagia. Keberkahan Allah SWT datang bersamaan dengan harta yang dikeluarkan. Semakin banyak pemberian, semakin mengalir deras berkah dari Allah, artinya semakin banyak pemasukan kita.
Lantas bagaimana mengukur kadar jumlah pemberian itu? Batas ekstrimnya adalah zuhud. Di ujung esktrim yang lain adalah pelit. Di tengah-tengahnya ada hamparan yang bisa kita pakai untuk memenuhi kebutuhan kita. Prinsip yang paling mudah dipakai adalah dengan memberikan pada orang lain apa yang diluar kebutuhan kita.
Kebutuhan di sini adalah relatif sifatnya, tergantung seperti apa kita. Setelah yang wajib berupa zakat dikeluarkan, demikian pula pemenuhan kebutuhan dasar kita, maka sisanya itulah yang berupa kelebihan yang mesti diberikan.
Jika kelebihan itu dikumpul-kumpul dan ditumpuk-tumpuk jadilah ianya penyakit badan (dari makanan), stress (dari beban fikiran), dan konflik (dari kecemburuan). Betapa banyaknya penyakit yang ditimbulkan oleh mengkonsumsi berlebihan atau mengurus yang kelebihan dari harta ini.
Konsumsi makanan berlebihan bisa menimbulkan obesitas (kegemukan), diabetes, darah tinggi, penyempitan pembuluh darah, kolesterol tinggi. Dari pemikiran yang berlebihan akan harta bisa menjadi stress, serangan jantung, maag, insomnia (susah tidur), konflik, sampai penjara.
Sebaliknya jika kita banyak memberi, apa yang akan didapatkan? Kebahagiaan asasi karena menjalankan perintah Allah, meniru asma Allah yang Rahman dan Rahim, dicintai oleh yang diberi, menjamin keadilan dan keseimbangan sosial, mengurangi kriminalitas, menyehatkan badan dan fikiran, serta balasan surga dari Allah. Hidup pun menjadi tenang karena tidak perlu menjaga harta yang terlalu banyak.
Lantas bagaimana dengan pemberian yang non materi tadi? Jalannya pun sangat banyak. Ilmu adalah salah satu pemberian yang paling berharga dan merupakan investasi dunia dan akhirat. Guru yang ikhlas memberikan ilmunya akan mendapat balasan di dunia dari murid-muridnya.
Bahkan ilmu yang bermanfaat yang diajarkan pada orang lain akan menjadi pahala yang mengalir tidak henti-hentinya pada kita meskipun kita telah meninggal dunia. Inilah investasi yang sesungguhnya, kita tidak bekerja lagi, tapi pahalanya terus mengalir. Memberi ilmu tidak harus menjadi guru.
Kebiasaan mengajarkan dan memberitahu sesuatu pada orang lain haruslah menjadi kebiasaan kita jika kita ingin kemajuan kita cepat tercapai. Trik mengoperasikan komputer, ilmu pengetahuan populer, berbagi informasi, teknik menghemat, cara kerja yang efektif dan efisien, serta ilmu dan cara lainnya yang kita rasakan bermanfaat jika disebarkan kepada orang lain, dan orang tersebut bisa mengambil manfaat darinya akan melipatgandakan produktivitas kita.
Nasehat, kritikan, dan ide adalah bentuk lain dari pemberian non materi. Ada memang orang yang bisanya hanya berkoar-koar mengkritik meskipun yang dikritiknya itu memang benar, tetapi ketika disuruh mengerjakan tidak bisa. Itulah memang keahliannya.
Seharusnya kita bersyukur memiliki orang-orang seperti ini karena kritik itulah pemberian yang diberikannya kepada kita. Konsultan pun dibayar untuk memberikan kritik. Kalau bisa tentu dengan solusi. Dukungan, kehadiran, silaturahim, senyuman, simpati dan waktu adalah bentuk lain dari pemberian yang bisa kita berikan. Ianya bisa dilakukan hampir tanpa mengeluarkan biaya, tetapi pengaruhnya luar biasa.
Kita memang harus melatih dan belajar kembali untuk bisa menjadikan memberi menjadi kebiasaan kita. Bukankah tangan di atas lebih baik dari tangan yang dibawah. Artinya memberi lebih mulia dari menerima. Mari kita berlomba-lomba untuk bisa memberi, baik materi ataupun non materi.
By : Dr. Ir. Muhammad Ikhsan, MSc.