

Dr. Ir. Muhammad Ikhsan, MSc.
Peminat dan Pembelajar Budaya Melayu
Dosen Pasca Sarjana Sosiologi Perkotaan UNRI
Kesuksesan sebuah bangsa adalah hasil dari kemajuan peradaban atau kebudayaannya. Sebaliknya, untuk menghancurkan sebuah bangsa, hancurkanlah budayanya. Bentuk budaya yang sering kita lihat hari ini adalah tari menari, nyanyi-menyanyi, ukir-ukiran, bentuk rumah, pakaian, dan upacara adat. Itulah bungkus atau tampak luarnya, aksesoris, hiasan, tontonan, objek turis, dan hiburan. Itu hanya aspek estetika dari budaya. Aspek lainnya yang lebih banyak dan jauh lebih penting perannya, justru tertinggalkan dengan hingar bingarnya perhelatan budaya. Aspek lain itu meliputi etika, iptek, tata sosial, bahasa dan sastra, serta hukum/pemerintahan. Unsur budaya di dalam etika tercermin melalui perilaku, nilai luhur, norma, karakter, sikap ksatria, berani, malu berbuat salah, etos kerja dan kecerdikan. Sementara di dalam iptek, budaya tercermin dalam tradisi keilmuan, cara mendidik, pengajaran, kebiasaan meneliti, dan aplikasi teknologi dalam berbagai bidang kehidupan. Di dalam bidang bahasa dan sastra, pantulan budaya terhimpun di dalam karya sastra dan seni komunikasi. Demikian pula di dalam bidang hukum dan pemerintahan, budaya tergambar di dalam seni memerintah, administrasi, seni negosiasi, peraturan, dan penegakan hukum. Pada setiap suku ataupun bangsa, kita bisa melihat beragam karakter mereka terhadap bidang-bidang yang disebutkan diatas yang pada akhirnya menentukan warna keseluruhan dari budaya mereka. Warna budaya Jepang berbeda Arab, beda pula dengan Melayu, Jawa, Eropa, dan seterusnya.
Memang, akibat kemajuan iptek, pergaulan dunia dan informasi yang semakin lancar, banyak bagian dari budaya ini yang sudah menjadi hal yang universal, artinya terdapat di hampir semua bangsa. Katakanlah dalam urusan administrasi, penggunaan teknologi dasar, dan pemerintahan semua bangasa di dunia ini memilikinya. Tetapi hal-hal mendasar dari aspek budaya itu–ibarat dasar gunung es di lautan—lah yang menjamin kemajuan sebuah bangsa berikut peradabannya.
Bangsa Arab dengan watak keras dan kontras atas sikap keberpihakan hitam putihnya menjadi lahan yang subur bagi perkembangan Islam ketika dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sehingga sikap tegas hitam putih mereka itu menjadikan kaum muslimin setelahnya mudah mencontoh mereka. Bangsa Jepang dengan semangat bushido dan samurainya yang menekankan pada kedisiplinan, keseriusan, dan keberanian menjadi dasar pijakan yang kuat bagi mereka untuk bangkit lewat Restorasi Meiji, pun setelah kalah dalam Perang Dunia II hingga kini menjadi superpower teknologi. Bangsa Eropa dengan tradisi logika dan ilmu terapannya bisa menata kehidupannya dan menggungguli banyak bangsa di dunia dengan teknologi sehingga mereka bisa menaklukkan banyak bangsa berbekal keunggulan teknologi peralatan perang. Bahkan bangsa Indian, Aztec, Cina, dan Jepang yang terkenal dengan kepahlawanan dan seni perangnya pun bisa mereka taklukkan dengan teknologi perang seperti penggunaan mesiu, senjata api, dan meriam. Bangsa India dan Cina yang demikian maju dalam bidang filsafat dan kebijaksanaan menjadikan mereka sangat percaya diri untuk meraih kesuksesan demi kesuksesan bangsanya, dan terbukti sekarang mereka bisa bangkit menjadi kekuatan dunia.
Melayu sebagai bangsa dan sebagai peradaban juga memiliki aspek budaya yang unggul dan telah terbukti di pentas sejarah. Lihatlah karakter ksatria Hang Tuah dan saudara-saudaranya, kerapian penataan pemerintahan raja-raja di Riau Kepulauan, produktivitas karya sastra mulai dari masa Hamzah al Fansuri, Nuruddin ar Raniri, hingga zaman Raja Ali Haji dengan gurindamnya. Baca pula tunjuk ajar Melayu yang dihimpun oleh Pak Tenas yang penuh dengan kebijaksanaan dan norma sosial yang sangat mulia. Kita pun salut dengan kemampuan nenek moyang orang Melayu yang mengarungi lautan dengan teknik perkapalan dan navigasinya sehingga bisa berlayar jauh sampai ke Madagaskar. Watak masyarakat Melayu yang bersahaja, tidak mengenal kasta, fleksibel dalam pergaulan, dan pintar berdagang menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa perantara di Nusantara yang pada akhirnya menjadi bahasa Indonesia. Celupan Islam yang mewarnai budaya Melayu, sehingga diidentikkan dengan Islam adalah kekayaan budaya Melayu yang tidak ternilai harganya. Islam dengan syariatnya menjadi penjaga setia kebudayaan Melayu.
Budaya dari perspektif yang luas inilah yang mesti kita hidupkan lagi di tengah kehidupan masyarakat Melayu, di tengah pemikiran budayawannya, di tengah perilaku birokratnya, di tengah iklim ilmuwannya, dan di tengah gejolak semangat pemudanya. Watak masyarakat Melayu sebagai pekerja keras nan cerdik, pintar bergaul dan negosiasi, sikap santun dan rendah hati mestilah dihidup-hidupkan lagi. Tradisi pembelajaran ilmiah di kalangan budayawan dan kecendekiawanan di kalangan masyarakat ilmiahnya mesti ditumbuh-tumbuhkan sehingga bukan hanya mampu menghasilkan karya sastra, tetapi juga produk iptek lainnya. Birokrat dan pemimpin yang mampu mengayomi rakyatnya, bak Sultan–yang bukan hanya berkuasa, tetapi juga mampu mengayomi, memenuhi kebutuhan, dan melayani kepentingan rakyatnya. Birokrat yang punya rasa malu yang besar ketika berbohong pada rakyat. Pemimpin yang amanah, tahu diri, dan tidak mementingkan dirinya sendiri.
Lembaga Adat bersama institusi pemerintah daerah dan komponen di dalam masyarakat memegang peranan sentral untuk menumbuhkan budaya-budaya ini sehingga menjadi kebiasan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Melayu. Untuk langkah awal barangkali perlu semacam rekayasa sosial, perlu grand strategy untuk merangsang itu semua. Salah satu langkah yang paling strategis adalah lewat sekolah-sekolah, lewat pendidikan. Tetapi sekali lagi, jangan hanya aspek estetika saja yang diajarkan, tetapi seluruh aspek budaya tadi, yaitu etika, iptek, tata sosial, bahasa dan sastra, serta hukum/pemerintahan.
Dulu ketika pendidikan dan kebudayaan masih disatukan dalam satu departemen, yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kuat harapan bahwa budaya merupakan bagian yang penting dari pendidikan dan kehidupan sehingga budaya menjadi ruh kehidupan. Tetapi pada dekade terakhir ini di pemerintahan, kebudayaan masuk di dalam Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, itupun bergabung bersama-sama dengan seni dan film dalam Ditjen Nilai Budaya, Seni, dan Film. Ditjen yang lain meliputi Ditjen Sejarah, Purbakala, Pariwisata, dan Pemasaran. Analog dengan di Provinsi dan Kabupaten/Kota, persoalan budaya umumnya dimasukkan ke dalam Dinas Kebudayaan, Seni, dan Pariwisata (Disbudsenipar). Dari penggabungan ini tampak jelas bahwa pandangan umum masyarakat dan juga pemerintah kita tentang budaya hanyalah sebatas pada seni, tarian, pakaian, makanan, upacara adat, dan ritual lainnya yang berkaitan dengan tourism atau pariwisata. Karena itu, pantaslah jika budaya sekarang hanya menjadi tontonan, untuk dinikmati, dilihat sebagai barang antik yang dikagumi, ibarat pajangan di ruang pameran. Budaya sekarang diarahkan lebih pada unsur kenikmatan dan hiburan daripada menjadi salah satu inti kehidupan dan peradaban.
Hari ini orang sudah merasa berbudaya melayu kalau sudah berbaju kurung, berteluk belanga, kalau gedung kantornya ber selembayung, atau kalau beracara didahului tari persembahan, atau kalau sudah berpantun ria di akhir pidato. Orang sudah merasa aman kalau lembaga adat melayu sudah ada, kalau lasykar sudah muncul, kalau kepala daerah sudah menjadi Datuk Setia Amanah. Tetapi kita banyak yang lupa, kita terlalu dihanyutkan dengan hal-hal yang estetika saja, sementara esensi budaya yang lainnya yang sebenarnya membentuk peradaban Melayu sengaja atau tidak sengaja kita tinggalkan. Kita jangan bangga menjadikan budaya kita hanya menjadi tontonan, simbol, barang antik. Jangan terjebak antara persepsi budaya sebagai barang tontonan dan budaya yang menjadi penggerak sanubari, motivasi kita.
Budaya mesti mewarnai sisi-sisi keidupan. Jika orang Jepang memiliki semangat bushido dengan jalan samurai yang ditempuh, sehingga seorang ibu sangat bangga kalau ia bisa menjadikan anaknya bisa berlatih pedang menjadi seorang samurai. Jika di Palestina seorang ibu bangga anaknya syahid melawan Yahudi. Kita di negeri Melayu ini mestilah bisa menjadikan budaya Melayu sebagai ruh kehidupan kita, sumber inspirasi dan motivasi melawan kemiskinan, kebodohan dan korupsi. Menjadi rangka pola pikir kita mencapai kemajuan demi kemajuan.