

Salah seorang teman saya yang sudah berusia lanjut, termasuk orang yang rajin shalat berjamaah di masjid. Ia bercerita tentang bagaimana ia bisa sembuh dari penyakit gula (diabetes) nya. Sebagai ungkapan kesyukurannya ia rajin beribadah seperti yang kami lihat dalam kesehariannya.
Beliau dulu adalah seorang pekerja keras dan sering ke luar kota. Kalau di lapangan sering pula sampai larut malam. Karena memiliki uang dan sebagai pimpinan, sebagai kompensasi kerja keras dan begadang, mereka banyak makan dan minum yang manis terutama kopi dan teh. Kalau yang lain dapat jatah satu bungkus nasi ramas, sebagai pimpinan dia disuguhkan sampai tiga bungkus. Akibatnya dia dan banyak kawan-kawannya terkena diabetes.
Setelah berobat ke sana ke mari tanpa kesembuhan yang berarti, akhirnya ia bertanya kepada orangtuanya yang juga berpenyakit gula. Sesungguhnya nasihat orang tua kepadanya inilah yang menjadi pelajaran yang sangat berharga padanya dan juga pada saya. Begini kata orangtuanya.
“Sesungguhnya yang mendatangkan penyakit itu adalah Allah. Itu merupakan teguran kepadamu karena dulu terlalu berlebihan. Jatah nasi satu, kamu ambil tiga. Mentang-mentang mampu, minum pun yang manis terus. Sekarang Allah memberikan tegurannya kepadamu.
Saya meskipun sakit gula juga, tetap makan dan minum seperti biasa, tetapi tidak berlebihan. Bagaimana bisa? Niatkan semua yang kamu makan sebagai obat. Hayati betul-betul itu. Syukuri nikmat Allah yang telah diberikannya kepadamu. Insya Allah penyakitmu akan sembuh.”
Teman saya ini mengamalkan apa yang dinasehatkan oleh orangtuanya. Walhasil, penyakit gulanya meskipun tidak bisa sembuh total, tetapi jauh berkurang. Di usia pensiunnya, ia bisa beribadah dengan nikmat dan shalat berjamaah di masjid. Bahkan ia adalah jamaah yang paling pertama ke masjid, karena ia shalat tahajud di masjid. Saya selalu “cemburu” pada orang-orang yang bisa menikmati kedekatannya dengan Tuhan.
Bulan Ramadhan adalah kesempatan untuk introspeksi diri. Suasana di bulan ini mengkondisikan kita untuk berdekat-dekat dengan Allah. Ibadah-ibadah yang pahalanya berlipat-lipat di bulan ini memotivasi kita untuk lebih rajin beribadah dan bermesra denganNya. Lebih banyak ruang dan waktu bagi kita untuk merenung tentang hakikat penciptaan kita untuk mengabdi kepadaNya.
Memperjuangkan kebaikan-kebaikan di tengah masyarakat yang diperintahkanNya. Menyadarkan kita bahwa kepadaNya pulalah kita akan kembali dan melaporkan perbuatan kita selama hidup. Mengakui dosa-dosa, kealpaan, dan larangannya yang kita langgar. Membuat komitmen-komitmen baru untuk peningkatan amal dan ibadah kepadaNya sebelum napas kita diambilNya.
Suasana lapar, haus, lelah, dan ngantuk menyadarkan kita untuk tidak bersifat sombong, tetapi bersifat empati terhadap golongan yang lemah. Merasakan langsung lapar, haus, lelah, dan ngantuk jauh lebih baik dari seribu seminar pengentasan kemiskinan. Perasaan tidak nyaman ini membuat kita selalu ingat kepada golongan yang lemah, membela mereka, dan tidak menyakiti hati mereka. Diharapkan timbul rasa kasih sayang dan menyantuni mereka.
Di balik itu semua, ketenangan dan kebahagiaan hati yang kita dapatkan dari ibadah yang mendekatkan diri kita kepada Allah adalah hadiah Ramadhan. Perasaan bahagia karena bisa berbagi dan berempati dengan mereka yang lemah adalah respon positif suasana hati sebagai ganjarannya. Lebih dari itu, keampunan, kasih sayang, dan pembebasan dari azab api neraka adalah janji Allah yang insya Allah akan kita dapatkan jika Ramadhan kita sukses. Amiien.