

Dr. Ir. Muhammad Ikhsan, MSc.
Dosen Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik UNRI.
Siapa yang tidak bangga masuk fakultas teknik. Apalagi mendapat gelar insinyur (sekarang ST). Sudah tentu masyarakat menganggap sang insinyur pintar membangun gedung, membuat pesawat, merancang mesin, bahkan serba tahu dengan iptek dan yang canggih-canggih lainnya. Tapi jangan ge-er dulu, itu anggapan masyarakat, setidaknya dulu. Seorang bapak bahkan dengan bangga menceritakan bahwa anaknya kuliah di ITB jurusan ekonomi. Padahal siapapun tahu, di ITB tidak ada jurusan ekonomi selain teknik.
Tapi itulah teknik. Lulusannya pun banyak berkiprah bukan hanya di dunia ilmu dan praktisi yang sudah menjadi bidangnya, tetapi juga di bidang lainnya. Di dunia bisnis pun ada deretan nama Ir. Aburizal Bakrie dan Ir. Ciputra (bisnis properti). Di dunia politik, sebut saja Ir. Soekarno (T.Sipil ITB), presiden pertama RI; BJ Habibie (doktor dari Jerman), presiden kedua RI; Siswono Yudohusodo (ITB); Akbar Tanjung (Elektro UI), Ketua DPR; Laksamana Sukardi (T.Sipil ITB); Hatta Rajasa (perminyakan ITB) dan puluhan nama lainnya bisa disusun.
Kebanggaan dan percaya diri dari lulusan teknik (pada umumnya) menjadi modal besar mereka untuk menggeluti dunia ini, paling tidak dari penghargaan yang diberikan masyarakat, meskipun kenyataannya bisa saja lain. Beragamnya bidang yang digeluti oleh lulusan teknik mungkin tidak bisa disamakan dengan beragamnya bidang yang digeluti oleh lulusan non-teknik. Bisa dihitung dengan jari seorang lulusan ilmu sosial yang bisa membangun gedung atau merancang mesin. Padahal suatu hal yang lumrah bahwa seorang lulusan teknik bisa bekerja di bank atau menjadi pengamat ekonomi misalnya.
Terlepas dari itu semua, di dunia yang terhampar ini dengan segala tantangan dan permasalahannya, seorang lulusan teknik harus memilih di bidang manakah ia akan berkarya. Tentu saja harus sesuai dengan minat dan kemampuannya. Minat atau bakat belum tentu bisa dibuktikan oleh kemampuan yang diukur dari standar yang ada. Thomas Alfa Edison bahkan DO ketika di bangku SD dan tidak bisa mengikuti pelajaran karena logikanya tidak sesuai dengan logika standar waktu itu. Ia harus diajari oleh ibunya di rumah sampai akhirnya ia membuat lab dan lembaga penelitian sendiri di Menlo Park. Sama halnya dengan seorang mahasiswa yang akan memilih topik tugas akhirnya, kemampuannya pada suatu masalah kadangkala tidak sesuai dengan minatnya.
Yang jelas, minat dan bakat merupakan tenaga yang kuat yang akan mendorong seseorang untuk bekerja dengan penuh semangat. Ide-ide orisinil dan brilian muncul dari orang yang berbakat dan mempunyai minat yang tinggi dalam bidangnya. Media-media pengajaran hanyalah sebagian dari pengisi dari celah-celah dan kerangka yang sudah dimiliki dalam alam bakat dan minat masing-masing anak manusia. Bukan sebaliknya.
Yang jelas Allah swt tidak membeda-bedakan kita menurut golongan, kekayaan, kepandaian, bidang ilmu dan spesialisasi kita. Allah hanya membedakannya pada dua kategori. Pertama, Allah swt mengangkat derajat orang yang berilmu beberapa derajat. Kedua, yang lebih mulia di sisi Allah swt adalah orang yang lebih taqwa. Penilaian final seorang muslim (juga seorang manusia) adalah pada ilmu dan taqwa yang ia miliki. Penilaian final yang dimaksud adalah penilaian yang sesungguhnya di alam yang sebenarnya, alam yang tiada habisnya, yang pilihannya hanya di dua tempat: surga atau neraka.
Jadi apapun bidang pekerjaan kita kelak, asalkan kita mendapat poin tertinggi di bidang ilmu (meskipun bukan seorang ilmuwan) dan ketaqwaan pada Allah swt, tidak masalah. Biar ilmuwan, biar praktisi, biar politikus, biar … yang penting SURGA!