

Di tengah suasana pandemi Covid-19 ini, kota kita merayakan ulang tahunnya yang ke-236, yang telah tumbuh dari kawasan Senapelan sejak tahun 1784. Tanpa lomba-lomba, tanpa upacara-upacara, dan tanpa seremonial yang melenakan demi protokol kesehatan.
Tidak perlu bersedih, karena begitulah keadaannya. Yang penting adalah esensi dari mengingat bahwa kampung itu, sekarang sudah mekar sebutannya menjadi metropolitan karena penduduknya yang lebih dari 1 juta jiwa. Kalau sebutan metropolitan itu hanya terkait dengan jumlah penduduknya saja, maka kota ini hanya sebagai kampung besar, bukan sebuah kota.
Karena kota sejatinya adalah sebuah tatanan yang meliputi kawasan, penduduk, dan sarana penunjangnya yang direncanakan, dibangun, dan dikelola sedemikian rupa sehingga menjadi teratur, nyaman, dan mensejahterakan penghuninya.
Serangkaian prestasi Pekanbaru dalam rentang waktu itu pun telah ditorehkan. Kota terbersih berulang kali diraihnya dengan Adipura. Pekanbaru pun tumbuh menjadi primadona dalam dunia usaha dan perdagangan, menyusul Medan dan Palembang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Sumatera.
Lokasi Pekanbaru di persilangan timur barat, utara selatan, darat laut, dan kedekatan aksesnya dengan Kepulauan Riau, Malaysia dan Singapura melejitkan kota ini. Berada di tengah-tengah pusaran karunia alam Riau dengan industri, kebun sawit, kayu, dan tambang migas membuat apapun yang dijual dan diusahakan di Pekanbaru laris manis. Kalau mau cepat berhasil datanglah ke Pekanbaru. Maka berduyun-duyunlah orang ke Pekanbaru.
Rawa-rawa di Rawa Sari, Rawa Bening, Paus, Sidomulyo, dan Panam ditimbun untuk perumahan dengan tata kelola drainase yang minim. Hulu Sungai Sail yang masih menyisakan hutan, ditanami sawit sehingga jadilah airnya keruh sampai ke hilir. Jalan-jalan penghubung tumbuh alami dan berbelok-belok seperti di Paus, Teropong, dan Badak.
Anak-anak sungai Sail, Senapelan, Air Hitam, dan Kelulut dengan air rawa kecoklatan yang dingin dan segar, kini berubah keruh, kotor dan tersuruk di bawah jalan-jalan besar dan flyover, di belakang hotel-hotel dan mall, dan menjadi tempat pembuangan sampah di belakang rumah-rumah cantik sepanjang alirannya.
Deretan ruko-ruko menyisakan kawasan belakang yang kosong, semak, berair, dan kotor. Kerasnya persaingan dan cepatnya pergerakan warga tercermin dari perilaku berlalu lintas yang kasar dan semrawut. Banjir, sampah, dan kemacetan lalu lintas adalah persoalan klasik kota yang juga muncul di Pekanbaru.
Yang diperlukan Pekanbaru saat ini adalah pengelolaan dan penataan. Ibarat kendaraan, mesinnya telah mantap, hanya perlu arah, rem, dan pengendalian yang stabil. Perkembangan kota tidak bisa dibiarkan tumbuh alami sekehendak pengembang dan masyarakat saja.
Di sinilah fungsi pengawasan melalui penataan ruang dengan RTRW, dan yang lebih detil RDTR kawasan. Infrastruktur dasar kota seperti drainase, jalan, air bersih, transportasi massal, pengelolaan sampah dan ruang terbuka hijau harus menjadi prioritas penganggaran. Termasuk juga infrastruktur sosial seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan dan administrasi kependudukan. Sementara perdagangan, investasi, dan jasa di Pekanbaru sudah tumbuh dengan sendirinya.
Salah satu syarat keberlangsungan kota (sustainable city) adalah adanya sustainable transportation, yakni transportasi umum massal yang memadai. Hal ini tentu harus didukung oleh BRT (bus rapid transit) transportasi cepat berbasis bus, konsep TOD (transit oriented development) pembangunan berbasis simpul transportasi massal, pengaturan hirarki jalan arteri-kolektor, penuntasan jalan lingkar, dan revitalisasi jalan-jalan kolektor.
Pengelolaan lingkungan kota yang utama adalah persampahan dan ruang terbuka hijau (RTH). Pengangkutan sampah konvensional dengan menggunakan petugas yang memuat sampah dari onggokan di tepi jalan ke atas truk tidak pantas lagi untuk kawasan perkotaan dan jalan arteri. Penggunaan waste container yang bisa diupload untuk disalin/dikosongkan ke dalam truk secara hidrolik seperti yang dilakukan di Surabaya rasanya adalah alternatif terbaik dan efisien.
RTH publik yang dimiliki Pekanbaru yang hanya sebesar 3% dari dari luas kota dari persyaratan sebesar 20%, harus cepat dikejar dengan memanfaatkan tanah-tanah kosong fasilitas umum/sosial di wilayah perumahan. Pemko bisa memfasilitasi dana CSR perusahaan bersama-sama tenaga masyarakat untuk membangun taman-taman sederhana dan permainan anak-anak di tanah kosong ini. Jangan sampai anak-anak kita menjadi lebih betah di dalam rumah karena tidak punya kesempatan bermain di taman-taman yang nyaman dan menarik minat mereka.
Potensi greet belt (jalur hijau) Pekanbaru mulai dari RTH Kaca Mayang, drainase samping Masjid AlFalah Jl. Sumatera, Taman Kota samping Aryaduta, Hutan Kota Jl. Diponegoro, belakang Gubernuran sampai ke Sungai Sail harus dihidupkan kembali. Karena merupakan satu kesatuan dan menyambung terus, akan lebih mudah mengelola dan memanfaatkannya.
Anak sungai Sail mulai dari kanal Jl. Garuda, melintasi Sudirman di belakang Hotel Grand Central, terus ke belakang SMA 8 sampai ke Sungai Sail bisa dihidupkan kembali menjadi lintasan air yang menarik. Demikian pula drainase Jl. Arifin Ahmad yang mengarah ke Parit Indah juga akan menjadi atraksi air yang menarik kalau dikelola dengan baik.
Kemiskinan yang hinggap di sekitar 15 ribu keluarga adalah persoalan lain. Pengentasan kemiskinan dengan pendampingan adalah yang terbaik. Setiap 20 keluarga miskin didampingi oleh seorang pendamping yang mengurusi mulai dari pendataan, bantuan, sekolah anak, pekerjaan, perumahan, kesehatan sampai keluarga tersebut bebas dari kemiskinan dengan kriteria yang ditetapkan.
Dengan APBD Rp 2,5 triliun, kalau dianggarkan 2,5% saja (seperti layaknya zakat), akan tersedia dana untuk pengentasan kemiskinan Rp 62,5 milyar per tahun. Untuk pendampingan separohnya, dan biaya langsung untuk keluarga miskin sekitar separohnya pula. Tidak semua keluarga miskin harus mendapatkan jumlah bantuan yang sama. Tergantung tingkat keparahannya.
Ada yang harus dibantu penuh karena memang tidak memiliki apa-apa. Ada yang hanya memerlukan informasi dan akses. Ada yang hanya perlu pelatihan dan motivasi. Tidak semua dipukul rata diberi bantuan seperti BLT saat ini. Pendamping inilah yang mengawal, mengoordinasikan bantuan dan menentukan kebutuhan keluarga miskin tadi dengan tanggung jawab penuh. Tidak akan ada keluarga miskin siluman atau pura-pura miskin kalau cara ini diterapkan.
Pengembangan kawasan Tenayan untuk perkantoran, industri, kota baru, dan pendukung aerocity (kota baru berbasis bandar udara) tidak harus meninggalkan pembangunan kota lama. Biarlah investor dan pengusaha besar yang mengurus pembangunannya. Dana infrastruktur jangan tersedot ke sana, tetapi untuk membenahi infrastruktur kota lama: drainase, persampahan, jalan, dan transportasi massal.
Kita patut berterima kasih pada Pak Walikota DR. Firdaus dengan konsep smart city nya. Konsep dan buah pemikiran yang sangat bagus. Birokrasi di bawah beliau tampaknya perlu coaching (pendampingan) di dalam implementasinya, demikian pula sosialisasinya di tengah masyarakat. Salah satu ciri smart city adalah partisipasi birokrasi, swasta dan masyarakat yang tinggi.
Birokrasi yang memiliki inisiatif, inovatif, dan kreatif. Tidak menunggu arahan terus. Peran swasta dalam pembangunan kota adalah PR lain. Menghidupkan peran masyarakat dan komunitas-komunitas olahraga, seni, hobi, religi, dengan pola komunikasi di cafe-cafe dan kedai kopi akan menggerakkan potensi yang luar biasa ini.
Persoalannya adalah bagaimana menyalurkan ide-ide di masyarakat ini supaya tertampung dan termuarakan dengan baik ke arah positif pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sendiri. Ini tentu memerlukan seni kepemimpinan tersendiri.
Pekanbaru memang harus dipersiapkan serius untuk menjadi sebuah kota metropolitan, kalau tidak, ia hanya akan menjadi sebuah kampung besar dengan sejuta persoalan yang tak terselesaikan.