

Dalam beberapa bulan terakhir, Pekanbaru dilanda banjir setiap kali hujan lebat mendera. Hampir semua jalan utama tergenang ketika hujan lebat 15 menit saja. Bahkan kawasan pemukiman pun sekarang sudah mulai ikut-ikutan banjir.
Meskipun ada yang menyebutnya dengan genangan (bukan banjir), tetapi hakikatnya tetap juga sama, yaitu air yang berlebih karena tidak meresap ke dalam tanah dan tidak pula tertampung oleh drainase. Dalam tulisan ini, kita sebut saja: banjir, untuk memudahkan. Dampaknya pun terasa di perkotaan, lalu lintas yang macet, rumah dan toko terendam, dagangan tidak laku, aktivitas terhambat, barang-barang terendam dan rusak, serta penyakit pun menyebar.
Yang mengherankan adalah, ketika banjir terjadi, bahkan setelahnya, tidak ada tanggapan dan respon yang signifikan. Saya membayangkan, seharusnya ketika terjadi banjir, pegawai dinas PU (Cipta Karya yang mengurusi drainase) kalau perlu kepala dinas atau staf yang bersangkutan turun ke lapangan mengecek titik-titik banjir sekaligus mengidentifikasi penyebabnya.
Lalu ketika banjir sudah surut ditindaklanjuti dengan membobol atau mengeruk penyebab tersumbatnya aliran, membangun struktur untuk pencegah banjir sementara atau menurunkan petugas untuk membersihkan got yang tersumbat. Pendek kata, setiap kali kejadian banjir di suatu tempat ada aksi lanjutan dari dinas PU. Itu bayangan saya, tetapi sayangnya tidak terlihat di lapangan.
Sebaliknya, yang dihandalkan saat ini untuk mengatasi banjir hanya petugas OP (operasional pemeliharaan) Dinas PU, yang mengeruk parit dari sampah, lumpur dan pasir. Tapi banjir terus saja terjadi. Yang sering disalahkan adalah masyarakat yang membuang sampah ke dalam parit. Karena itu solusi yang sering dianjurkan oleh pemerintah daerah sebagai pembelaan diri adalah mengimbau masyarakat untuk tidak membuang sambang ke dalam parit.
Hal ini sebenarnya tidak memecahkan persoalan, karena meskipun benar, sampah bukan penyebab dominan terjadinya banjir. Akibat kurangnya evaluasi, setelah banjir mengering, kita lupa untuk mengurus penyebabnya sehingga banjir ini terus terjadi.
Banjir di perkotaan adalah kombinasi dari dua faktor saja. Pertama, luas daerah untuk resapan air. Termasuk di dalamnya adalah ruang terbuka hijau, hutan kota, taman, lapangan terbuka, halaman rumah/kantor, sumur resapan, rawa, dan kolam/waduk. Semakin luas daerah ruang terbuka hijau, maka semakin kecil resiko banjir karena air yang meresap ke dalam tanah akan semakin besar.
Penampungan air hujan yang turun ke atap-atap bangunan melalui mekanisme panen hujan juga termasuk dalam upaya mengurangi resiko banjir. Di sini seharusnya fungsi pengaturan dan pengawasan tata ruang dijalankan supaya ruang terbuka hijau bisa dialokasikan lebih besar. Sayangnya hal ini jarang mendapat perhatian dari pemerintah daerah.
Kedua, kondisi drainase. Drainase yang baik bukan hanya mampu menampung air hujan, tetapi juga mengalirkannya sampai ke sungai/laut. Drainase yang baik mesti didasarkan pada masterplan drainase yang lengkap. Dalam kenyataan, banyak persoalan yang menyangkut drainase karena kecil, dangkal, tersumbat oleh tanah/sampah, putus, runtuh dan tertimbun.
Pada beberapa ruas drainase ada yang bahkan sengaja ditimbun oleh pemilik bangunan/ruko. Memburuknya drainase ini juga terjadi karena kurangnya pengawasan oleh Dinas PU/Cipta Karya. Rasanya tidak pernah ada teguran atau peringatan pada pemilik bangunan yang menutup atau menghalangi jalannya air oleh petugas yang berwenang.
Akibatnya, masyarakat masa bodoh memperlakukan saluran air ini seenaknya. Tidak tuntasnya penanganan sampah menyebabkan sampah berserakan dan menimbulkan keinginan masyarakat untuk membuang sampah ke dalam parit, sehingga menyumbat jalan air di drainase.
Lantas, apa yang mesti dilakukan sekarang?
Pertama, membuat masterplan drainase yang menyeluruh. Master Plan drainase perkotaan yang baik mesti bisa menggambarkan titik-titik banjir yang ada dan penyebabnya. Selain itu, mesti bisa menggambarkan saluran utama (primer), saluran peringkat kedua (sekunder) dan saluran anak (tersier) sehingga seluruh air di kawasan perkotaan diketahui kemana arah alirannya hingga tuntas sampai ke sungai besar, kanal besar, atau laut.
Tidak ada air bingung yang menyangkut di suatu tempat tanpa diketahui kemana arah alirannya. Masterplan drainase yang baik juga mesti bersifat holistik (menyeluruh) dan bisa memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang untuk menyelesaikan persoalan banjir.
Master plan drainase disusun secara komprehensif untuk betul-betul meyakinkan air mengalir dari kawasan pemukiman, pertokoan, dan perdagangan hingga tuntas melalui saluran sampai ke sungai Siak dan Kampar dengan ukuran/daya tampung saluran yang sesuai. Pentahapan prioritas penanganan banjir mulai dari yang paling krusial sampai yang rutin harus tergambar sehingga progres pembangunan drainase setiap tahunnya jelas dan terarah untuk penyelesaian banjir hingga tuntas.
Kedua, realisasi fisik perbaikan dan pembangunan drainase. Drainase-drainase yang ada di kota Pekanbaru, pada umumnya berada di kiri dan kanan jalan yang pembangunan dan anggarannya tergantung kepada “pemilik” jalan tersebut, apakah pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten/kota.
Karena itu, koordinasi yang baik antar setiap level pemerintahan itu mesti dilakukan oleh Pemko Pekanbaru, supaya drainase-drainase yang berada di pinggir jalan tersebut bisa menampung aliran air sesuai dengan hirarkinya, apakah primer, sekunder, atau tersier.
Ketiga, dalam jangka pendek upaya revitalisasi dengan penggalian, pengerukan, dan normalisasi mesti dilakukan terhadap parit dan anak sungai yang ada. Di samping itu, menata drainase primer dan sekunder perkotaan dengan memastikan air lancar mengalir, tidak tersumbat, terputus, atau tertimbun.
Drainase di lingkungan perumahan menuju saluran perkotaan juga perlu dibenahi karena umumnya tidak lagi diurus oleh pengembang setelah selesai dibangun. Revitalisasi (normalisasi) anak-anak sungai utama seperti Kelulut, Sail, Air Hitam dan lainnya yang menuju ke Sungai Siak dan Sungai Kampar harus dilakukan.
Keempat, perlu disiapkan sebuah gugus tugas (task force) yang siaga pada waktu-waktu rawan banjir untuk menangani secara cepat jika terjadi penyumbatan-penyumbatan sekaligus mengetahui permasalahan di saluran. Dinas PU dan kalau perlu Pak Wali harus turun melihat kondisi drainase di lapangan. Kita rindu sosok seperti Bu Risma dengan sepatu bootnya mengecek lokasi drainase yang tersumbat di Surabaya. Kalau pimpinan mau turun, tentu anak buahnya akan pontang-panting menyelesaikannya.
Kami membayangkan Kota Pekanbaru seperti Singapura yang luasnya lebih kurang sama dengan Pekanbaru. Drainase di tengah kota berada di bawah jalur pejalan kaki, ditutupi dengan beton rapi. Waktu hujan, air seolah-olah lenyap ditelan bumi mengalir di bawah pedestrian tanpa hambatan. Pohon-pohon dan taman tumbuh di sisi kiri kanan jalan sebagai peneduh. Pejalan kaki nyaman berjalan di teduhan pohon dan lingkungan yang bersih dan rapi. Pekanbaru dan kota-kota lainnya di Riau harusnya juga bisa. Tentunya, bebas banjir!
By : Muhammad Ikhsan