

Allah SWT menciptakan kita dalam keadaan yang berbeda-beda. Tidak ada seorangpun yang berwajah sama di atas dunia ini, mirip memang ada, tapi tidak sama. Begitu pula dengan warna kulit, sifat, karakter, bahkan sampai pada rezki, posisi, kepintaran, ukuran tubuh, kecantikan, potensi dan seterusnya sangat bervariasi. Dengan kondisi dasar yang berbeda-beda itu, apakah kita mengatakan Allah tidak adil?
Jawabannya tentu saja tidak. Allah Maha Adil. Keadilan Allah SWT adalah ketika Ia menetapkan standar kemuliaan manusia pada tingkat ketaqwaannya. Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Potensi dan perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing orang bukanlah menjadi ukuran Allah, karena memang ia menciptakan kita dengan perbedaan itu semua.
Orang yang miskin dan dianggap berstatus kedudukan sosial rendah di mata masyarakat bisa menjadi orang yang mulia kalau ia bertaqwa. Pun sebaliknya mereka yang kaya raya atau memiliki jabatan sosial yang tinggi jika ia bertaqwa akan memperoleh kemuliaan dari Allah SWT.
Salah satu ukuran dari ketaqwaan adalah pada amanah yang dijalankan. Perbedaan potensi dan kedudukan membawa konsekuensi pada perbedaan amanah dan tugas yang dipikul. Sangatlah tepat ketika Allah menyatakan bahwa Ia tidak akan membebankan sesuatu beban kepada seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan orang tersebut.
Besar kecilnya amanah bukanlah ukuran kemuliaan seseorang. Akan tetapi seberapa besar usaha dan keseriusan seseorang dalam menjalankan amanah adalah ukurannya yang tentu saja disesuaikan dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya.
Seorang tukang sapu jalanan atau tukang angkut sampah jika bekerja profesional, tekun, dan jujur adalah orang yang amanah dan karenanya mendapatkan kemuliaan dari amanah yang dijalankannya, meskipun tanggung-jawab itu kecil dari ukuran manusia.
Sebaliknya seorang anggota dewan atau kepala daerah jika ia bekerja keras, serius, jujur, dan adil di dalam menjalankan amanah pemerintahan untuk memberikan kesejahteraan pada rakyatnya akan mencapai kemuliaan pula di sisi Allah SWT dengan kerjanya itu.
Seharusnya setiap kita berfikir bahwa setiap amanah yang diberikan kepada kita itu akan mengantarkan kita apakah ke surga atau ke neraka. Perilaku ihsan dan pemahaman membuat kita selalu merasa diawasi oleh Allah SWT dan berniat bahwa setiap pekerjaan baik yang dilakukan adalah dalam rangka pengabdian kepada Allah SWT.
Setiap kita dituntut untuk memiliki keahlian di bidang kita dan terus mengasahnya. Setiap kita pun tidak perlu repot-repot menghitung-hitung di posisi mana kita berada saat ini, sudah menjadi apa. Tetapi yang harus kita risaukan adalah kemampuan apa yang sudah kita miliki saat ini, jika kelak amanah-amanah lain yang mungkin jadi lebih besar akan dibebankan kepada kita. Jika sudah demikian, maka orang-orang akan berlomba-lomba mengasah kemampuannya dengan lebih baik dan lebih baik lagi.
Jika kita ingin masuk surga, maka amanah yang ada pada kita adalah jalan pengantarnya. Jika amanah ini akan mengantarkan kita ke neraka, sebaiknya kita berfikir dua kali untuk menerimanya. Karena bukankah yang ingin kita capai pada akhirnya adalah surga Allah?