

(Refleksi Kasus Penembakan di Masjid Al Noor, Selandia Baru)
Kita tentu sama-sama terhenyak menyaksikan berita penembakan di Masjid Al Noor, di Kota Christchurch, Selandia Baru hari Jumat kemarin. Lorong-lorong Masjid Al Noor, teras, dan ruangan-ruangan yang ada di video penembakan yang sempat tersebar tersebut mengingatkan saya pada Logan Islamic Center, di negara bagian Utah, USA.
Tidak banyak foto yang saya koleksi yang menggambarkan suasana di Logan Islamic Center, Utah, USA yang sekaligus berfungsi sebagai masjid. Saya sempat menjadi Ameer (Ketua) dari Logan Islamic Center ini selama lebih kurang 1 tahun sebelum pulang ke Indonesia pada akhir 1999. Menurut saya ada banyak kesamaan pada kondisi masjid-masjid di negara-negara dimana penduduk muslim adalah minoritas seperti di Australia, Selandia Baru, Amerika, Eropa, Jepang, Korea dan negara-negara lainnya.
Masjid/Islamic Center bagi kami bukan hanya sebagai tempat shalat berjamaah, tetapi juga tempat untuk bersosialisasi, makan bersama, tempat untuk janji berkumpul, arena rekreasi, tempat menitip barang, tempat olahraga, sumber informasi, sumber meminta bantuan, dan banyak fungsi lainnya. Ketika penembakan itu terjadi, suasana santai di ruangan-ruangan masjid yang menunggu waktu shalat Jum’at tampak di video tersebut. Karena memang biasanya pada hari Jumat biasanya banyak tamu-tamu dari luar kota, demikian pula dengan berbagai aktifitas lainnya.
Islamic Center kami juga pernah mengalami aksi teror dengan dilempar batu oleh masyarakat setelah kejadian Perang Dessert Storm (Badai Gurun) ketika Amerika menurunkan pasukannya melawan invasi Irak ke Kuwait. Mereka tidak bisa membedakan antara Islam dan Irak.
Di sekolah-sekolah di Amerika, juga diajarkan tentang Islam. Tetapi karena pengetahuan dan sumber informasi Islam yang mereka terima terbatas, maka tentu saja pemahaman dan kesimpulan mereka tentang Islam juga tidak sempurna. Dalam satu sesi tanya jawab, seorang siswa bertanya kepada seorang Muslim yang sedang berusaha menjelaskan Islam ke sekolah-sekolah. Siswa bertanya: kenapa orang Islam istrinya empat? Pertanyaan lain: kenapa orang Islam suka membunuh? Atau bertanya: kenapa wanita Islam tidak boleh keluar rumah? Pertanyaan-pertanyaan itu tentu saja tumbuh dari pengetahuan mereka tentang Islam. Bisa kita bayangkan di institusi pendidikan saja, bisa lahir pertanyaan seperti itu, apalagi di lingkungan masyarakatnya yang sangat minim informasi tentang Islam atau mendapatkan informasi salah tentang Islam. Apatah lagi, ketika dibumbui oleh kelompok-kelompok ekstrem yang memang membenci Islam dari awalnya.
Di Amerika, kelompok masyarakat yang jarang melakukan perjalanan ke luar negeri, terutama ke negara-negara Islam, biasanya bersikap antipasti terhadap umat Islam. Tetapi bagi mereka yang terbiasa berinteraksi dan pernah ke negara-negara Islam, sikap mereka terhadap umat Islam lebih lunak dan toleran.
Adalah sangat perlu bagi kita umat Islam untuk bisa memberikan informasi seluas-luasnya kepada kelompok di luar Islam. Umat Islam tidak bisa menutup diri dan eksklusif sendiri saja. Apalagi di tengah era komunikasi dan informasi yang tersebar luas ini. Penggunaan media-media sosial, media massa, pertemuan-pertemuan, pelibatan-pelibatan umat Islam di tengah-tengah aktifitas social pada masyarakat awam dan non muslim juga harus dilakukan. Apa yang dilakukan oleh komunitas muslim di Selandia Baru dengan membuka masjid mereka, mempersilakan non muslim untuk melihat ibadah sholat dan menjelaskan Islam adalah langkah yang paling baik untuk memahamkan mereka, karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti, sehinggakan informasi itu sampai kepada mereka. Mudah-mudahan hidayah Allah menyertai.