

Sudah belasan kali saya mengikuti acara Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) baik di Provinsi, maupun di kabupaten dan kota di Riau. Setiap kali saya mengikutinya, setiap itu pula saya merasakan bahwa Musrenbang lebih pada acara basa-basi dan pemenuhan mekanisme formal pemerintahan saja. Karena apa yang ingin dicapai lewat Musrenbang yakni media untuk merembukkan program dan kegiatan apa yang akan dianggarkan di APBD tidak tercapai. Walhasil arang habis besi binasa, kayu habis nasi tak masak. APBD pun akhirnya tidak bisa memecahkan persoalan yang riil dihadapi oleh masyarakat.
Mekanisme perencanaan dan pengusulan program/kegiatan sudah dimulai pada tingkat kelurahan/desa dan kecamatan sebelum dibawa ke Musrenbang kabupaten/kota. Tetapi apa yang telah dirembukkan dan diusulkan pada tingkat kelurahan dan kecamatan ini seringkali tidak sampai pada tingkat kabupaten/kota. Penyebabnya antara lain karena memang program itu tidak diusulkan karena tidak terfikirkan ataupun karena sikap masa bodoh masyarakat. Penyebab lain—dan ini sering terjadi—adalah usulan ini tidak digubris pada tingkat kabupaten/kota. Bappeda kabupaten/kota seringkali menentukan sendiri saja apa yang mereka rasa perlu, padahal belum tentu sesuai dengan kebutuhn masyarakat.
Saat ini ada sikap apriori (tidak mau tahu) di masyarakat pada tingkat kelurahan dan kecamatan tentang usulan pembangunan mereka. “Percuma saja kita mengusulkan, yang dimasukkan dalam APBD lain lagi”, demikian umumnya komentar masyarakat. Supaya pada tingkat kabupaten/kota bisa memasukkan apa yang telah direncanakan/diusulkan oleh kelurahan dan kecamatan, maka hendaknya ada semcam berita acara tercatat tentang penyerahan usulan-usulan tersebut baik pada tingkat kelurahan maupun kecamatan. Jadi, ada semacam kekuatan hukum dari usulan masyarakat pada tingkat bawah supaya usulan mereka dimasukkan.
Acara Musrenbang yang dilakukan baik pada tingkat kabupaten/kota maupun Provinsi seringkali tidak efektif dilakukan. Sering terjadi perdebatan berpekanjangan. Waktu pelaksanaan Musrenbang yang dua hari mestinya bisa dimanfaatkan dengan sangat efisien waktunya. Bahan-bahan dari kecamatan (pada Musrenbang kabupaten) dan dari kabupaten/kota (pada Musrenbang Provinsi) serta dari SKPD seharusnya sudah masuk dan direkap sebelum Musrenbang dilakukan. Demikian ketika Musrenbang dilakukan, apa yang didiskusikan bisa efisien, terarah, dan tinggal memutuskan saja. Tidak perlu presentasi bertele-tele. Yang sangat disayangkan pula adalah kehadiran kepala daerah hanya pada sesi pembukaan dan penutupan saja, seremonial belaka. Padahal yang menjadi inti adalah diskusi program/kegiatan apa yang akan dimasukkan, mana yang prioritas mana yang tidak. Ini pula yang sering dilewatkan oleh kepala daerah maupun anggota legislatif. Pun hasil Musrenbang ini biasanya biasa-biasa saja, notulen diskusi dan kesepakatan pun tidak ada berita acaranya. Seharusnya kesepakatan antara kepala daerah, legislatif, komponen masyarakat ditandatangani bersama sehingga ketika penyusunan APBD yang dilakukan oleh Bappeda, kesepakatan-kesepakatan ini bisa dilihat kembali apakah masuk atau tidak.