

Sungguh sebuah setting yang sangat jitu dari Allah SWT yang telah memfasilitasi kaum muslimin dengan bulan Ramadhan di antara dua belas bulan yang ada dalam setahun untuk berlatih menggiatkan amal ibadah dan menjalankan puasa (shoum) di siang hari. Fasilitas ini tidak dimiliki oleh umat dari agama lain, bahkan mungkin mereka patut “cemburu” karena peluang seperti ini tidak bisa diada-adakan untuk mendapatkan perlakuan dan fasilitas yang sama.
Secara nyata puasa melatih kita dalam keadaan lapar, ngantuk, lelah, supaya bersabar menahan diri dari makan dan minum. Turut merasakan penderitaan saudara kita yang miskin dan kekurangan. Praktek puasa mengandung pula unsur keteladanan dalam merasakan penderitaan tersebut secara langsung, meskipun hanya di siang hari saja. Perasaan simpati yang dilakukan lewat puasa tidak hanya dilakukan lewat seminar dan teori belaka, tapi juga dalam praktek.
Rasanya puasa menjadi sindiran bagi kita yang bermain-main dengan tameng kemiskinan. Mengentaskan kemiskinan mestilah betul-betul mengentaskan kemiskinan. Terkadang kita terlalu pintar membungkus program dan jargon sehingga kelihatan serius dan meyakinkan padahal dalam pelaksanaannya jauh panggang dari api.
Kita membicarakan kemiskinan di hotel-hotel mewah, dengan makanan berlebih-lebihan, di ruangan AC yang menggigilkan kita, di kursi empuk dan nyaman. Kita memikirkan kemiskinan di dalam rumah-rumah kita yang indah, berlantaikan pualam berseri, TV sebesar jendela.
Kita sibuk mengurus masalah kemiskinan ini dengan menggunakan handphone tercanggih meskipun tidak perlu. Kita lewati jalan-jalan berlubang dan perumahan miskin dengan kendaraan itu, dengan baju kebesaran dan mimik muka serius menunjukkan simpati kita. Raut muka yang kosong!
Puasa sebenarnya mengajarkan kita untuk bersikap tawadhu dan rendah hati. Meskipun kita sanggup membeli makanan dan makan, tetapi tidak kita lakukan. Demikian pula dengan harta kita. Sesungguhnya kepemilikan harta itu bukanlah pada diri kita, tetapi oleh Allah. Kita sesungguhnya hanya memiliki hak pakai dan hak menyalurkan.
Kelebihan yang ada pada diri kita adalah milik orang lain. Islam memang mengakui hak-hak individu, tetapi hak sosial milik orang lain juga tidak kalah penting. Seharusnya harta itu letaknya bukan di hati kita, tetapi di tangan kita sehingga mudah kita menyalurkannya.
Sabda Nabi: “Tuhan senang dengan hamba-Nya yang menunjukkan tanda-tanda atas nikmat-nikmat yang diberikan-Nya kepadanya dalam kehidupannya”. Artinya kita patut berhias dan menggunakan bagian dari harta kita untuk keperluan kita. Yang tidak boleh adalah berlaku tamak dan boros. Tidak berlebih-lebihan.
Yang menjadi pertanyaan barangkali batas berlebih-lebihan ini, dan biasanya yang menanyakan ini adalah mereka yang memang dari pertamanya tidak ikhlas jika hartanya dipergunakan untuk orang lain. Sesungguhnya sesuatu yang melebihi dari apa yang kita butuhkan, maka itulah berlebih-lebihan.
Jika memakai mobil seharga 200 juta sudah memenuhi kebutuhan kita, maka memakai mobil 500 juta jelaslah berlebih-lebihan. Apalagi yang di atas itu. Demikian pula untuk kebutuhan-kebutuhan yang lain, mulai dari parfum, sepatu, pakaian, perabot, rumah, tabungan, dan seterusnya. Yang berlebih dari itulah yang seharusnya dizakatkan dan diinfaqkan.
Rasanya bisa dibayangkan dua jenis raut muka si miskin yang melihat fasilitas dan kemewahan yang kita miliki, baik rumah yang mewah, kantor pemerintah yang mentereng, mobil luks, dan perhiasan yang menyilaukan mata. Raut muka pertama adalah raut muka sedih dan tak berdaya. Raut muka lainnya adalah raut muka kebencian. Tidaklah heran jika banyak kejahatan terjadi karenanya. Berapa banyak kejahatan terjadi karena mempertontonkan barang mewah tersebut.
Dunia akan menjadi damai jika setiap kita merasa puas dan cukup dengan apa yang kita miliki. Mencari nafkah adalah untuk mencukupi kebutuhan, bukan untuk menumpuknya. Kelebihan harta adalah untuk mereka yang kekurangan dan tidak bisa berusaha. Kasih sayang akan tumbuh dengan sendirinya antara si kaya dan si miskin.
Si miskin pun akan menjadi kaya jika distribusi ini berjalan. Sejarah telah membuktikan hal ini. Pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dalam waktu tiga tahun pemerintahannya, tidak ada lagi orang yang menerima zakat akibat distribusi harta yang sangat baik. Sungguh indah!
Sekarang berapa banyak orang yang sakit karena kelebihan makanan, karena kurang gerak, karena terlalu nyaman. Ada sesuatu yang salah dengan diri kita jika itu yang terjadi. Sementara di sisi lain kita lihat banyak sekali orang yang membutuhkan, bahkan sampai kelaparan.
Banyak dari kita yang bermain mata dalam mempermainkan proyek sehingga hanya menguntungkan kita. Tidak peduli pekerjaan itu dibutuhkan oleh masyarakat atau tidak, bermanfaat atau tidak. Berapa banyak yang menimbun hartanya untuk suksesi dan mencapai jabatan yang lebih tinggi.
Meskipun demikian, Allah Maha Adil. Biasanya mereka yang menimbun hartanya, maka Allah distribusikan harta itu lewat cara lain, lewat sakit yang aneh dan berbiaya besar, lewat problem rumah tangga, lewat banyak sekali cara. Sungguhpun begitu, banyak juga yang tidak sadar. Nauzubillahi min zalik. Mudah-mudahan pembaca budiman tidak masuk kategori ini. Jika kebetulan ya, maka taubat Allah selalu terbuka lebar untuk itu. Bukankah semuanya akan dihitung dan disidang oleh Allah nantinya?