

Tak kenal maka tak sayang; tak sayang maka tak cinta; tak cinta maka tak kawin. Pepatah ini sudah sering kita dengar dan logis rasanya. Di dalam lingkungan perpolitikan, ia dinamakan popularitas. Di zaman Pilkada ini, popularitas sangat penting, karena ia menentukan pilihan politik massa.
Pemerintah harus memberikan pelajaran politik pada warga supaya iklim politik sehat, masyarakat tahu apa sebetulnya yang dipilih dari seseorang, sesuatu partai, atau organisasi.
Jika masyarakat masih bodoh dan awam soal politik maka pemerintah gagal dalam pembelajaran politik ini. Pembelajaran politik yang diberikan baru pada sebatas menghimbau untuk memilih, menggunakan hak pilihnya. Yang paling norak adalah tunjuk hidung memilih si anu.
Popularitas sah-sah saja, mengusahakan supaya populer di masa sekarang di mana masyarakat belum cerdas politik pun sah-sah juga, calon-calon terbaik dengan kemampuan kepemimpinan, kinerja, dan pengalaman terbaik harus bisa bersaing dan dipopulerkan.
Akan tetapi kalau kerjanya hanya mengumbar popularitas, mengesampingkan prestasi dan kinerja, sibuk menjaga citra, dan konsentrasi terfokus pada kampanye, maka ini sudah tidak betul.
Sayangnya banyak orang yang terkesima oleh popularitas, termasuk mereka yang kita anggap cerdas secara politik, baik dari kalangan ilmuwan, birokrat, dan partai. Mereka turut larut dalam sindrom popularitas ini. Tidak sedikit pula yang lupa pada jalan permanen yang seharusnya ditumbuhkan, yaitu mencari dan menjadikan pemimpin yang berkualitas tadi, bukan hanya yang populer. Tugas mesin politik dan struktur partai adalah menciptakan dan mencari pemimpin yang berkualitas tadi untuk dipopulerkan.
Sindrom popularitas akan merusak sendi kehidupan politik yang pada hakekatnya adalah untuk mengurus rakyat. Orang-orang akan berebut untuk mempopulerkan dirinya, sibuk untuk tampil dan berbuat-buat ramah. Urusan mengurus kepentingan rakyat menjadi terabaikan.